Siapa yang tidak mengenal desa Kinahrejo? Desa yang mendadak menjadi tenar setelah letusan Merapi tahun 2006. Ternyata, desa yang luluh lantak oleh awan panas Merapi pada Selasa, 26 Oktober 2010, sekitar pukul 17.52 tersebut menyimpan mitos sangat dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Namun, setelah desa itu luluh lantak oleh "wedhus gembel" Merapi, akankah mitos itu tetap diyakini.
Selama sekian puluh tahun masyarakat Desa Kinahrejo, hampir tidak ada tradisi yang ditinggalkan masyarakatnya bahkan hingga ke generasi sekarang. Kebiasaan dan pandangan-pandangan hidup di Merapi yang sekarang ini dianut pada prinsipnya berasal dari nenek moyang mereka. Berbagai kebiasaan dan pandangan itu merupakan cara hidup mereka untuk menyeimbangkan alam, mengharmoniskan hubungan alam dan manusianya. Mereka percaya pula bahwa manusia yang nyata mempunyai kerajaan dengan pemerintahannya sendiri, dan alam sekitarnya juga termasuk Gunung Merapi.
Di atas Gunung Merapi terdapat kerajaan dengan rakyat dan penguasanya. Sang
penguasa yang memerintah di atas Gunung Merapi dipercayai adalah Kyai Sapu Jagad. Kyai Sapu Jagad digambarkan sebagai penunggu yang duduk di singgasananya di Kerajaan Merapi. Menariknya kerajaan alam gaib ini memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Mataram terutama sejak Pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX (atau sebelumnya?). Komunikasi antar kerajaan dan antar masyarakat nyata dan alam gaib ini berlangsung intens dan harmonis.
Setiap waktu kerajaan alam gaib ingin mengadakan hajatan, masyarakat biasanya diberitahu lewat tamsil mimpi beberapa waktu sebelum hajatan berlangsung. Ada utusan yang datang ke mimpi orang-orang tertentu yang memiliki kelebihan. Orang-orang ini juga dipercayai dapat berkomunikasi dengan utusan-utusan gaib tersebut. Hajatan yang paling umum adalah peristiwa yang dipahami orang-orang awam sebagai letusan gunung, semburan lava, hembusan awan panas. Lava bagi masyarakat tradisional Kinahrejo dan sekitarnya tidak pernah disebut lava tetapi dimetaforakan sebagai sampah, buangan dari pesta atau hajatan di kerajaan alam gaib itu, sedangkan awan panas disebut wedhus gembel.
Ketika alam Pantai Selatan diguncang gempa dahsyat (26 Mei 2006) yang mengakibatkan kehancuran puluhan ribu rumah dan menelan korban ratusan ribu orang diimbangi dengan letusan gunung Merapi yang semburannya menghasilkan pasir jutaan kubik yang diasumsikan dapat dipergunakan untuk membangun kembali rumah yang roboh di Bantul dan sekitarnya. Sejalan dengan kepercayaan ini, seorang informan lain mengatakan bahwa sebelum kejadian gempa besar di Bantul seorang utusan telah datang membawa berita bahwa penguasa alam gaib ini murka akibat ulah manusia dan akan menggoyang bumi serta menggetarkan manusia. Walaupun dipahami bahwa yang mendapat wangsit bermimpi adalah utusan tersebut merupakan orang biasa yang datang dari kerajaan alam gaib Gunung Merapi, tetapi kedatangan orang biasa itu ditafsirkan tidak biasa. Tafsirannya adalah bahwa kerajaan alam gaib Merapi akan mengadakan hajatan di gunung. Dengan tafsiran klasik ini, masyarakat dipahamkan akan adanya letusan atau semburan lava ke lereng Gunung Merapi.
Meskipun berselang cukup lama dari tafsir mimpi itu, kejadian letusan akhirnya terjadi juga pada 14 Juni 2006 yang menghasilkan timbunan pasir dalam jumlah yang sangat banyak. Proses penyeimbangan alam berjalan dengan baik, demikian dirasakan masyarakat Gunung Merapi.
Simbiose hidup alam gaib dengan alam kasat mata seperti digambarkan di atas sama persis seperti dituturkan mbah Marijan, juru kunci Merapi, yaitu orang yang ditugaskan Keraton Mataram Yogyakarta untuk menjaga Merapi. Sebagai juru kunci, masyarakat mempercayai bahwa Mbah Marijan ini memiliki kelebihan. Selain itu sebagai abdi dalem berpangkat penewu, ia berkewajiban memberi laporan dan informasi kepada Sultan sehubungan dengan aktivitas Merapi termasuk secara non- kasat mata.
Setiap tanggal 29 bulan Rajab upacara besar Labuhan dilakukan. Pada upacara ini dibawa sesaji ke atas Gunung Merapi untuk dipersembahkan kepada sang penguasa gunung. Pada bulan Zulkaedah, masyarakat sekitar Kinahrejo melakukan upacara dandan kali yaitu upacara agar kali yang mengalirkan air dari gunung terus berlimpah, tak berkurang untuk konsumsi masyarakat. Ritual ini mereka lakukan dengan menyembelih kambing, dan membawakan sesaji hasil masakannya ke hulu kali. Dulu kambing sesembahan ini disembelih langsung di hulu kali, tetapi sekarang di rumah masyarakat di hilir. Setelah disembelih dan dimasak, masyarakat berkumpul di rumah salah seorang tokoh yang bernama Pak Widji untuk mengadakan doa selamatan. Setelah ini prosesi berikutnya yaitu sesaji diantarkan ke atas hulu sungai.
Pengetahuan-pengetahuan lokal yang terus menerus diwariskan dari generasi ke generasi adalah bahwa masyarakat tidak boleh menebang pohon di hutan Gunung Merapi. Masyarakat hanya boleh mengambil rumput yang tumbuh di sekitar hutan untuk pakan ternak. Kayu-kayu yang dapat diambil adalah kayu-kayu kering yang berasal dari tetumbangan pohon. Jika pohon-pohon itu tumbang karena tua atau pengaruh cuaca dan angin, masyarakat juga tidak berani mengambilnya apabila masih basah karena dikuatirkan akan dituduh menebang pohon di hutan. Oleh karena itu, pohon-pohon dan rantingnya harus betul-betul kering.
Selain itu, masyarakat sangat percaya bahwa Desa Kinahrejo tidak akan pernah terkena semburan atau aliran sampah Merapi (baca: lava). Kepercayaan ini dilatarbelakangi dari pemahaman bahwa Desa Kinahrejo, Kali (sungai) Adem merupakan halaman depan dari istana kerajaan alam gaib merapi. Seperti lazimnya sampah rumah tangga, manusia biasanya membuang sampah tidak di halaman depan, tetapi di samping kanan atau kiri bagian rumah. Oleh karena itu sisi kanan Kali Krasak dan samping kiri Kali Gendong -lah yang menjadi tempat pembuang sampah hajatan Gunung Merapi. Demikianlah masyarakat Gunung Merapi bersikukuh untuk tidak berkenan dievakuasi ketika Gunung Merapi meletus atau mengeluarkanawan panas.
Dan mitos ini terpatahkan oleh alam, karena ternyata Kinahrejo luluh lantak terkena semburan awan panas pada Selasa, 26 Oktober 2010, pukul 17.52.
Sumber:
Sailal Arimi, M.Hum. Kerajaan Gaib Gunung Merapi dan Masyarakat Kinahrejo:
Sebuah Mitos?. http://caps.ugm.ac.id/download. Diakses tanggal 29 Oktober 2010.